Halaman

Sabtu, 24 November 2012

Video Game – “Penyakit” Bagi Pria Single


Sebagai industri yang paling terakhir masuk ke dalam ranah hiburan mainstream, video game memang masih seringkali mendapatkan stigma dan prejudice negatif dari berbagai kalangan. Sifatnya yang lebih interaktif dan adiktif dibandingkan hiburan yang lain seperti film dan musik dianggap sebagai pemicu akan berbagai masalah sosial yang terjadi di masyarakat dunia. Sebut saja adiksi, obesitas, hingga masalah yang lebih krusial seperti penurunan tingkat produktivitas. Yang paling terkini? Percaya atau tidak, video game dianggap sebagai alasan utama yang membuat begitu banyak orang memilih untuk hidup menyendiri atau single.


Pernyataan ini dikemukakan oleh Prof. Tomonori Morikawa dari Universitas Wasada setelah melihat fenomena yang terjadi di Jepang. Menurutnya, video game menjadi alasan paling utama mengapa ada begitu banyak pria muda yang tidak lagi peduli untuk membina hubungan cinta dengan lawan jenis, terutama mereka yang berada di Jepang. Proses dan kesulitan yang mungkin harus dilalui untuk memastikan diri mendapatkan hubungan romantis di dunia nyata tidak lagi menjadi prioritas yang harus ditempuh. Kini lebih banyak pria yang lebih memilih menyerah dan memutuskan untuk “membina hubungan” ini lewat dunia virtual, termasuk video game. Hal ini tentu saja berpotensi menimbulkan penyakit sosial, apalagi jika seorang invididu tidak mampu lagi membedakan dunia nyata dan virtual.



Salah satu keunggulan utama membangun hubungan romansa di dunia virtual? Anda selalu punya pilihan! Banyak! #foreveralone


Secara psikologis, apa yang dikemukakan oleh Morikawa ini memang menjadi argumentasi yang valid. Ilmu psikologi dengan jelas menyatakan bahwa sudah menjadi “tugas perkembangan” bagi manusia dewasa untuk mengembangkan hubungan romantis dengan lawan jenis. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari hubungan tersebut dan akan berkontribusi besar pada pekembangan psikologi seorang individu. Ketika seseorang memutuskan untuk menyerah dan berpaling pada dunia virtual? Maka otomatis, kehidupan psikologis mereka tidak tumbuh sebagaimana mestinya. Namun menyalahkan video game atas fenomena yang satu ini? Tidak ada data valid yang dapat mengkonfirmasikan hal ini secara pasti.

Lantas, bagaimana dengan Anda sendiri, terutama gamer yang masih single? Apakah Anda lebih memilih kehidupan romantis di dunia virtual?


“Don’t compare games with reality. A game is game. A reality is reality. Those people who try to link them are the ones who can’t tell the difference.”
- Keima Katsuragi (The World God Only Knows)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar